Mindfulness After Quarter Life Crisis

Quarter Life Crisis itu apa sih? Bagaimana dengan mindfulness, apakah sudah pernah dengar juga?

Quarter-life crisis adalah suatu periode ketidakpastian dan pencarian jati diri yang dialami individu pada saat mencapai usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun. Biasanya saat kita sedang berada di fase quarter life crisis, kita jadi merasa serba kalah, serba salah. Jadi merasa berada dalam perlombaan dan kita kalah dalam perlombaan tersebut. Merasa terkurung dan tidak punya pilihan lain. Akhirnya kita merasa bimbang dengan rencana jangka panjang, sebab kekurangan dan kelebihan kita sedang terlihat sangat jelas.

Tiga tahun belakangan aku mulai resah dengan pilihan hidup yang aku jalankan. Mau mendalami takut salah, tapi kalau berganti pilihan khawatir ternyata memang pilihan ini yang benar. Akhirnya menggantung, soalnya serba takut. Rasanya nggak enak banget, sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke psikolog.

Setelah pergi ke psikolog, aku mendapatkan action plan yang sangat membantu. Tapi karena baru datang satu kali, selama beberapa waktu selanjutnya aku masih bertanya-tanya; kemarin itu kenapa ya?

Saat sedang iseng scroll social media, secara nggak sengaja aku baca tentang Quarter Life Crisis. Awalnya masih biasa aja. Tapi menjelang ulang tahun ke-26, waktu lagi iseng lihat checklist sebelum usia 30, tiba-tiba aja aku jadi inget si Quarter Life Crisis yang sering banget dibicarain orang-orang. Setelah itu, aku baru kepikiran ‘Oh… yang kemarin itu ternyata namanya quarter life crisis, toh’.

Lucunya, setelah merasa melewati fase tersebut, aku malah semakin tertarik dengan si quarter life crisis ini. Sampai akhirnya, saat lagi cari buku untuk sharing session di kantor, aku malah menemukan buku mengenai quarter life crisis. Ini dia bukunya: Almost Adulting.

Awalnya ragu, perlu ambil bukunya atau enggak, soalnya aku sendiri udah merasa melewati fase tersebut. Setelah pertimbangan panjang, akhirnya aku ambil bukunya dan sekarang aku nggak menyesal. Mungkin karena udah melewati fase tersebut, aku memang nggak merasa tercerahkan. Tapi aku merasa relate banget dan segala yang aku rasakan kemarin rasanya jadi valid. Menyenangkan sekali, waktu tahu kalau yang merasa kegundahan nggak jelas seperti kemarin itu bukan hanya aku sendiri.

Usia seperempat abad aku pikir memang penuh tekanan. Buatku pribadi, aku sering melihat orang-orang mematok target di usia tiga puluh. Jadi misalnya, usia tiga puluh sudah punya tabungan sekian, sudah menikah, sudah punya rumah, sudah punya anak, dan bahkan yang lebih ekstrim… sudah financial freedom.

Padahal rasanya kita baru aja lulus sekolah dan baru beberapa tahun merasakan bekerja. Untuk orang-orang yang harus bekerja sendiri seperti aku (aka yang tidak ada channel atau tidak ada perusahaan keluarga atau bahkan melepaskan diri dari perusahaan keluarga), target sebelum usia tiga puluh ini sangat memberatkan. Sepertinya terlalu jauh, bisa makan dan tinggal dengan nyaman saja sudah syukur, istilahnya begitu.

Jadinya mau nggak mau, malah flashback ke masa lalu. Kalau memang mau begitu, harusnya dulu nabung keras. Harusnya dulu udah mulai mantap dengan pendidikan dan jalur karier. Harusnya dulu isengnya jangan jalan kaki dari rumah ke sekolah, mungkin bisa diganti dengan ikut kursus ini-itu atau ambil pekerjaan sambilan. Terlalu banyak ‘harusnya dulu begini-begitu’ sampai akhirnya kita sendiri jadi gelisah, serba salah, dan ujungnya nggak pernah puas.

Jujur aja, waktu mau mulai jadi content creator, aku ngerasa sekarang udah terlambat banget. Sekarang udah banyak banget content creator, jadi kalau mau banyak pengunjung kayaknya persaingannya berat. Udah terlalu banyak tips and trick yang disebarkan, jadi perlu muter otak ekstra keras. Terakhir, aku sendiri juga merasa cukup berusia untuk mulai oversharing dengan kegiatanku sehari-hari.

Setelah menikah dan punya anak, aku udah nggak banyak berteman atau ikut kegiatan. Hamil hingga melahirkan yang berat, belum lagi masa pemulihan yang panjang, belum lagi harus menyeimbangkan antara kantor dan yang di rumah. Waduh, boro-boro kepikiran buat branding diri. Beneran, deh. Buat makan dan tinggal dengan nyaman aja udah syukur.

Apalagi aku hidup di Jakarta, yang mana segala sesuatunya kayaknya prosesnya cepat banget. Kalau lihat konten orang lain, kok bisa ya produktif begitu? Akhirnya jadi ngerasa useless. Serba nggak karuan deh.

Lupa gimana mulanya, akhirnya aku ketemu sama konsep mindfulness dan minimalism. Waktu aku cari tahu, kayaknya kedua konsep ini sangat nggak cocok denganku. Sebagai orang yang terbiasa multitaskingmindfulness bikin aku ngerasa buang-buang waktu.

Mindfulness adalah konsep di mana kita fokus untuk hidup di saat itu (living in the moment) atau keadaan pikiran yang berfokus pada pengenalan tentang apa yang dirasakan pada saat ini, tanpa melalui penilaian. Jadi ya konsepnya kalau misalnya lagi minum teh, ya dinikmati saat-saat minum teh itu. Nggak disambil yang lain, nggak sambil mikirin yang lain.

Pada nyatanya, sehari-hari aku bisa nonton drama sambil kerja dan sambil nguping dikit-dikit topik yang temen-temen kantor bahas. Lagi sambil-sambil gitu, tangan juga masih iseng nyuap makanan dan nyeruput kopi. Ide mindfulness itu jadi mustahil dan nggak banget buat aku.

Sebagai orang yang suka bikin plan A-Zminimalism ini juga kayaknya bikin terlalu banyak resiko ke aku. Takut banget butuh sesuatu yang bersifat urgent, tapi ternyata kita nggak punya barangnya. Takut banget juga dinilai pelit sama orang lain.

Karena hal-hal di atas, akhirnya aku jadi kayak semacam batu gitu deh. Malah boros maksimal, akhirnya tabungan nggak ada. Malah burn out, akhirnya jadi super nggak produktif.

Satu bulan sebelum hari ulang tahun datang, aku mulai mempertimbangkan si mindfulness dan minimalism ini. Hasil dari pertimbangannya adalah kayaknya aku butuh ngejalanin keduanya, deh.

Agak kontradiktif, ya. Working mom ini mau jalanin keduanya, sambil bikin konten di Blurywork yang mana punya tiga subBlury (art, cafe, fashion). Tapi tenang aja, menurutku nggak begitu kok! Karena sebenarnya semua konten ini juga konsepnya kehidupan sehari-hari. Jadi harusnya sih tenang-tenang aja. Yang perlu dilatih cuma kemampuan untuk bisa cepat-cepat ngerekam dan bikin perencanaan baik biar semuanya bisa satsetsatset lagi.

Woke deh. Perencanaan udah matang, dalam beberapa bulan lagi keluarga kecilku akan pindah rumah (yang bakal jadi gong untuk aku buat mulai semuanya lagi dari awal), tinggal dijalankan sebaik-baiknya aja.

Semoga aja mindfulness yang mau aku jalankan setelah quarter life crisis ini bisa berjalan dengan baik. Aamiin.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *