Menurutku pribadi, topik mengenai krisis dunia merupakan topik yang sulit. Terlalu berat dan menakutkan. Jadi aku kaget sekali saat kemarin ketika pulang dari kantor, suamiku tiba-tiba bahas mengenai hal ini.
“Kita harus kencengin ikat pinggang. Tahun 2023 katanya krisis dunia,” katanya sambil nyetir motor.
Jujur, aku langsung deg-degan dan khawatir banget. Selama ini aku sengaja berboros ria karena kesal mikirin nabung dan memang ada beberapa target yang harus mengeluarkan modal besar. Sampai akhir tahun 2023 ini aja, aku masih punya list panjang tagihan yang sangat mencekik. Kalau gini caranya, bisa nggak ya kami sekeluarga melewati 2023 dengan baik?
Yang paling pertama aku rasakan adalah menyesal. Andai kemarin aku rajin nabung, seenggaknya sampai terpenuhi dana darurat, aku yakin kita pasti bisa baik-baik aja. Tapi kalau lagi ngomongin krisis dunia dan keuangan, yang ada di pikiran cuma kerusuhan aja. Yang bikin merinding, malam sebelum suami angkat topik ini, aku baru aja mimpi tentang kerusuhan.
Sebagai orang yang suka bikin perencanaan, secara otomatis aku kepikiran ke kemungkinan terburuk yang akan terjadi; misalnya kalau terjadi PHK. Dengan gajiku sendiri atau gaji suami sendiri, mungkin keluarga kecil kami masih bisa bertahan setidaknya untuk makan sehari-hari. Butuh lebih banyak tenaga, tapi pasti bisa. Namun, bagaimana dengan keluarga besar kami?
Keluargaku dan keluarga suami bekerja sebagai wiraswasta di bidang busana. Tiga bulan belakangan saja, tepatnya sejak lebaran 2022, aku menerima laporan kalau pasar sedang sepi. Sepinya pasar juga didukung dengan naiknya BBM dan bahan pokok. Tanpa isu krisis dunia saja, saat ini keadaan sedang sulit. Bagaimana nanti?
Topik mengenai krisis dunia memang masih simpang siur–entah benar terjadi atau tidak. Tapi kalau memang terjadi, jarak dari aku mengetik tulisan ini hingga datangnya tahun 2023 hanya kurang dari 100 hari. Boro-boro mau memikirkan dana darurat. Memikirkan tagihan saja sudah membuat kepala sakit tak berkesudahan.
Aku sangat khawatir, sampai-sampai asam lambungku naik lagi.
Cepat-cepat aku hitung tagihan per bulan, kemudian menyesuaikannya dengan gaji yang aku dapatkan. Dengan teliti aku perhatikan, seberapa banyak tabungan yang bisa aku kumpulkan dalam waktu yang tak lama ini. Ada, sisa sedikit. Lumayan hopeless. Sampai-sampai masukan untuk menanam sayuran seperti yang dikatakan salah satu tokoh politik jadi terdengar urgent: bersifat segera dan sangat mendesak.
Keluarga kecilku belakangan ini terbiasa membeli makanan dari luar. Anakku memakan bubur, aku dan suami akan makan lauk warteg atau makanan lain yang mudah diakses olehku dan suami.
Belakangan ini ketika aku merasa kelaparan dan ingin membeli jajanan, aku berakhir putar balik ke dapur dan menggoreng telur dadar dengan komposisi dua buah telur, satu bawang bombai, dan sedikit garam. Enak, murah, lumayan kenyang. Biasanya aku bisa menghabiskan hampir seratus ribu untuk jajan cemilan, jadi alternatif seperti ini terhitung hemat sekali.
Mungkin terdengar tidak penting kesimpulan ini. Tapi kalau kamu juga merasakan hal yang sama; takut dengan krisis tapi keuangan sudah krisis duluan, mungkin ini memang cara paling logis saat ini. Mungkin memang berhemat adalah cara aman yang paling rasional saat ini.
Sedikit rahasia, sebagai orang yang paling sulit disuruh berhemat (aku dan suami bisa berdebat panjang perihal ini), aku menganggap ada cara lain agar bisa bertahan hidup di tengah pengeluaran yang menggunung, yakni dengan menambah penghasilan.
Tapi memangnya datangnya krisis siapa yang tahu? Kalau akhirnya krisis itu datang ketika kami belun siap dengan pegangan yang baru, mungkin ini adalah waktu bagi kita untuk menurunkan ego dan menahan diri.
Tetap waras menghadapi semua ini, ya!
Thank you for your help and this post. It’s been great.
Thanks for your help and for writing this post. It’s been great.
Your articles are extremely helpful to me. May I ask for more information?