Selama lebih dari 17 tahun hidup, saya dikenal sebagai anak yang sangat pendiam. Salah satu lingkungan belajar saya bahkan memberikan julukan ‘anak dua-tiga kata’ karena saya sering menjawab dengan ‘iya’, ‘tidak’, dan ‘terima kasih’ saja. Saya jarang bercerita, semua saya pendam. Bahkan ada satu guru yang ingat saya sebagai anak dengan bibir melengkung (cemberut) yang duduk di kursi depan.
Teman yang dekat dengan saya sangat terbatas dan saya tetap tidak bisa membuka diri pada semuanya. Saya hanya punya teman kepercayaan satu atau dua orang untuk bercerita. Pada sebagian besar waktu, saya memilih untuk diam ketika cerita saya dikomentari. Sebab kebanyakan waktu, yang saya butuhkan hanya didengarkan, bukan untuk mencari solusi.
Saya mulai banyak bicara ketika masuk kuliah. Bisa dibilang, jenjang kuliah adalah masa ketika saya mulai sering bercerita. Semua meledak ketika saya mulai bekerja.
Saya sudah biasa menjadi anak paling muda dalam lingkaran. Biasanya yang saya ingat hanya penghakiman dan diremehkan. Suara saya tidak didengarkan. Ide-ide saya hanya dianggap lalu saja. Namun ketika menjadi orang yang paling muda di kantor, semua terasa berbeda. Pendapat saya didengarkan, saya menjalankan tanggung jawab saya seperti seharusnya.
Intinya ide saya dipertimbangkan, hingga akhirnya dijalankan. Ini adalah sesuatu hal yang baru bagi saya. Karena ide itu berasal dari saya, saya merasa tidak keberatan untuk menanggung konsekuensinya. Saya merasa bersemangat, produktif, dan akhirnya mampu berbangga hati dengan diri sendiri.
Di awal saya bekerja, saya juga memiliki akun menulis pada salah satu platform online. Saya mendapat ledakan pembaca. Kolom komentar saya berisi kata-kata positif. Lama-lama saya jadi merasa nyaman dan semakin terbuka. Entah bagaimana awalnya, saya mulai rajin berkisah mengenai keseharian saya.
Tentang kantor, tentang kekonyolan yang ada di rumah, ataupun tentang mimpi-mimpi yang ingin saya gapai.
Awalnya hanya online. Lama-kelamaan saya jadi senang bercerita pada teman di kantor. Saya seperti mendapatkan kesadaran bahwa ternyata melepaskan beban pikiran yang mengganggu kita, rasanya semenyenangkan ini.
Semua berjalan tak terencana: saja menjalankan hari-hari biasa, kemudian berbicara tanpa berpikir. Hingga akhirnya secara tak sadar, saya mulai bercerita hal-hal yang sepatutnya tidak perlu diceritakan.
Pada masa awal saya menyadari hal ini, saya merasa overthiking. Saya bertanya pada teman-teman, “Apakah saya terlalu banyak bicara?” Semua jawab tidak. Katanya, lebih senang saya yang sering bercerita dibandingkan menjadi orang pendiam yang sulit digapai.
Saya berusaha menjalankan hari seperti biasa. Tapi saya terus kepikiran dengan apa yang saya ceritakan. Dengan kesadaran saya pun, saya sangat kesulitan untuk membatasi diri untuk bercerita.
Hingga akhirnya saya berusaha ‘memancing’ seorang teman. Orang yang mengenal saya secara dekat, namun kini kita tak banyak berkomunikasi. Ternyata benar, dia juga berpikir “Kenapa Anggun sering melakukan klarifikasi, ya?”
Memang, cerita panjang-panjang yang saya posting di instastory kebanyakan adalah pembelaan diri yang keseringan tak bisa saya sampaikan secara langsung. Ada yang menyinggung? Saya memberi waktu sejenak sebelum akhirnya menumpahkan apa yang saya pikirkan/rasakan sebagai pembelaan diri. Kenapa di story? Karena entah mengapa saya berpikir bahwa yang berpikir saya demikian, tak hanya satu-dua orang saja. Saya ingin memastikan semua orang tahu apa yang saya pikirkan, apa yang saya rencanakan, dan apa yang saya rasakan.
Saya terus melakukannya sepanjang waktu: bercerita, mengklarifikasi (dengan halus), bercerita, dan mengklarifikasi. Sampai pada akhirnya saya menyadari satu hal. Segala hal yang membuat saya terbebani ini tidak akan pernah berakhir.
Selama ini saya tak pernah melihat siapa saja yang melihat story saya. Tapi ketika saya cek pada satu waktu, saya menemukan beberapa fake account yang mengintip akun saya. Awalnya saya pikir itu hanya akun lewat dari reels saja. Tapi setelah saya perhatikan, akun itu terus melihat story saya. Bahkan menjadi orang terdepan yang melihat update saya.
Saya juga sering mendapatkan komentar bernada baik yang sesungguhnya menyindir. Ketika saya membuka akunnya, ternyata orang itu berasal dari lingkaran terdekat saya. Saya merasa resah, rasanya seperti diawasi secara seksama oleh CCTV dari berbagai sudut.
Keresahan saya membuat saya diam. Saya pergi ke psikolog untuk menyampaikan kegelisahan saya, berharap dapat meredam hal-hal negatif yang saya rasakan. Namun diamnya saya ternyata tak berguna: orang-orang ini selalu tahu kabar saya.
Saya yang biasanya pendiam, merasa gelisah dengan perhatian yang tidak membuat nyaman ini.
Ada satu waktu ketika saya merasa buntu. Saya pernah marah hingga menghabiskan tabungan, kemudian akhirnya saya kelimpungan sendiri ketika ingin mengumpulkannya kembali seperti semula. Pada titik itu, saya terdorong untuk mencari penghasilan lain.
Saya sudah mencoba upgrade diri. Namun bekerja dalam lebih dari satu tempat tak lagi terlihat meyakinkan. Kini saya sudah memiliki keluarga yang perlu saya urus. Untuk mengambil freelance pun, saya merasa minder karena tak memiliki pengalaman freelance pada umur segini.
Setelah mengalami kebuntuan yang tidak menyenangkan, akhirnya saya kembali pada kesimpulan yang tidak saya harapkan. Saya memang harus bercerita. Segala perhatian yang membuat saya resah, memang harus dihadapi. Ternyata, jalan sulit ini adalah salah satu peluang terbaik dari kondisi saya saat ini.
Akhirnya satu bulan ini saya memutuskan untuk diam. Ada komentar atau perkataan menyinggung? Saya diam, memberikan senyuman, komentar seadanya, dan merespons dengan baik.
Tapi akhirnya, suami yang menjadi tempat saya berkeluh kesah. Beliau akan mendengarkan kegelisahan saya yang tak putus-putus.
Saat ini saya sedang berusaha untuk menemukan jalan lain agar tidak segamblang itu bercerita. Saya hanya ingin menceritakan sesuatu yang bermanfaat dan positif bagi orang lain.
Sekarang saya sudah berhasil tidak menulis story panjang. Di waktu ke depan, saya harus berhasil memendam segalanya seperti dulu.
Harus.